Instrumen Baru Akreditasi Sekolah
BABAK baru akreditasi sekolah dimulai. SD, SMP, SMA dan SMK mulai tahun ini diakreditasi dengan instrumen baru. Untuk SMA hal ini untuk tahun kedua. Instrumen baru diharapkan lebih valid, lebih akuntabel dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Perkembangan Akreditasi Sekolah
Sejarah akreditasi sekolah di Indonesia mencatat tiga fase perkembangan. Fase pertama terjadi ketika Direktorat Sekolah Swasta melakukan akreditasi terhadap sekolah-sekolah swasta. Fase kedua terjadi ketika Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) melakukan akreditasi terhadap semua sekolah, baik negeri maupun swasta berdasar 9 (sembilan) komponen penyelenggaraan sekolah. Sedangkan fase ketiga ditandai dengan pelaksanaan akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dengan instrumen yang disusun berdasarkan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Fase terakhir sistem akreditasi sekolah merupakan penyempurnaan dan sekaligus jawaban terhadap kritik berbagai pihak atas kelemahan sistem akreditasi sebelumnya. Selama ini sistem akreditasi yang pernah berlaku dianggap sebagai mengabaikan keadilan.
Pada fase pertama, akreditasi sekolah yang hanya diperuntukkan bagi sekolah swasta sangat diskriminatif. Terlebih dengan kriteria pemeringkatan sebagai Terdaftar, Diakui dan Disamakan, sekolah swasta dianggap selalu under position. Disamakan sebagi peringkat terbaik hasil akreditasi dipertanyakan pula. Disamakan dengan siapa ? Apakah disamakan dengan sekolah negeri ? Jika demikian, maka sebaik apapun sekolah swasta tidak akan lebih baik dari sekolah negeri. Padahal faktanya, sekolah terbaik di Indonesia adalah sekelompok sekolah swasta, meskipun yang “terjelek” juga sekelompok sekolah swasta.
Sistem akreditasi sekolah fase kedua dianggap tidak adil lebih ditujukan kepada sifat instrumennya yang kategorik dan sangat diskrit. Respon instrumen hanya ada dua kemungkinan jawaban, ialah antara “ya” atau “tidak”. Jika “ya” maka diberi skor 1, sedangkan jika “tidak” diberi skor “0”. Sifatnya yang sangat diskrit cenderung mengabaikan sisi rentang kualitatif, kuantitatif dan kefungsian. Taruhlah contoh, sebuah sekolah memiliki bola kaki sebuah. Karena instrumennya berbunyi “Sekolah memiliki sarana olah raga” maka harus diberi skor 1. Pada hal sengguhnya bola kaki yang hanya sebuah tidak dapat menggambarkan kualitas dan kefungsiannya dalam pembelajaran Olahraga. Skor yang sama diberikan kepada sekolah yang sarana olah raganya lengkap dengan Hall dan pusat pelatihan atlet, misalnya. Di sinilah letak ketidakadilan itu.
Demikianlah, ketika sistem akreditasi sekolah memasuki fase ketiga, seluruh kekurangan yang terjadi dalam sistem akreditasi sekolah pada fase sebelumnya diperbaiki. Hal ini terkait dengan mulai tumbuhnya kesadaran, bahwa akreditasi bukan hanya sekadar kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan untuk akuntabilitas publik.
Mengacu SNP
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 memuat kriteria minimal komponen pendidikan. Inilah yang kemudian dirujuk sebagai Standar Nasional Pendidikan atau SNP. SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu SNP harus dijadikan standar mutu guna memetakan secara utuh profil kualitas sekolah/madrasah.
SNP memuat 8 (delapan) standar mutu. Berdasarkan hal itu, instrumen akreditasi sekolah disusun mengacu 8 standar tersebut. Meliputi (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik & Tenaga Pendidikan, (5) Standar Sarana & Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian.
Agar lebih valid, respon atas butir instrumen yang kategorik dan sangat diskrit ditinggalkan. Dikembangkan respon non-kategorik (noncategorical response), dalam hal ini adalah tipe peringkat dengan lima opsi jawaban. Penentuan lima opsi jawaban didasarkan atas pertimbangan menghargai perbedaan kinerja satuan atau program pendidikan.
Menggunakan instrumen dengan respon non-kategorik yang memiliki lima kemungkinan jawaban diperlukan pedoman sebagai panduan memberikan skor pada setiap opsi jawaban. Untuk itu dibuatlah petunjuk teknis yang merupakan penjelasan tentang pembuktian jawaban atas instrumen, baik berupa dokumen, bukti fisik atau fakta.
Salah satu prinsip yang tidak boleh diabaikan adalah validitas instrumen. Validitas instrumen dapat dirunut dari proses penyusunan butir-butirnya. Penjabaran 8 (delapan) SNP dijadikan kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi instrumen diurai ke dalam komponen, kemudian aspek, dan akhirnya sampai indikator. Dan sebagai acuan butirnya adalah aspek, artinya setiap aspek dijabarkan menjadi 1 butir.
Dengan intrumen yang validitas dan realibilitasnya terjaga, diharapkan instrumen baru ini memiliki karakteristik dapat mengukur (measurable), tidak menimbulkan banyak penafsiran (non multi-interpretation), merujuk pada aspek (standar) yang jelas (standard reffered), tidak mengintegrasikan banyak aspek (double aspec), dan masing-masing butirnya tidak meniadakan butir yang lain.
Disamping itu, satu hal perlu dicatat bahwa asesor sebagai ujung tombak pelaksanaan visitasi di sekolah perlu ditingkatkan kemampuannya. Setidaknya dalam memahami instrumen baru ini asesor harus belajar lebih banyak. Kompetensi asesor diarahkan untuk benar-benar profesional, mandiri, terpercaya, terbuka, dan handal.
Akhirnya, instrumen akreditasi sekolah yang baru ini semoga benar-benar menjadi perangkat alat ukur yang terpercaya untuk digunakan menilai kualitas sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Penulis adalah Pamong Tamansiswa, Trainer Asesor Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta./h.nur
artikel :
Ki SUGENG SUBAGYA /H.NUR
Kantor Berita Indonesia GEMARI
Perkembangan Akreditasi Sekolah
Sejarah akreditasi sekolah di Indonesia mencatat tiga fase perkembangan. Fase pertama terjadi ketika Direktorat Sekolah Swasta melakukan akreditasi terhadap sekolah-sekolah swasta. Fase kedua terjadi ketika Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) melakukan akreditasi terhadap semua sekolah, baik negeri maupun swasta berdasar 9 (sembilan) komponen penyelenggaraan sekolah. Sedangkan fase ketiga ditandai dengan pelaksanaan akreditasi sekolah oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dengan instrumen yang disusun berdasarkan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Fase terakhir sistem akreditasi sekolah merupakan penyempurnaan dan sekaligus jawaban terhadap kritik berbagai pihak atas kelemahan sistem akreditasi sebelumnya. Selama ini sistem akreditasi yang pernah berlaku dianggap sebagai mengabaikan keadilan.
Pada fase pertama, akreditasi sekolah yang hanya diperuntukkan bagi sekolah swasta sangat diskriminatif. Terlebih dengan kriteria pemeringkatan sebagai Terdaftar, Diakui dan Disamakan, sekolah swasta dianggap selalu under position. Disamakan sebagi peringkat terbaik hasil akreditasi dipertanyakan pula. Disamakan dengan siapa ? Apakah disamakan dengan sekolah negeri ? Jika demikian, maka sebaik apapun sekolah swasta tidak akan lebih baik dari sekolah negeri. Padahal faktanya, sekolah terbaik di Indonesia adalah sekelompok sekolah swasta, meskipun yang “terjelek” juga sekelompok sekolah swasta.
Sistem akreditasi sekolah fase kedua dianggap tidak adil lebih ditujukan kepada sifat instrumennya yang kategorik dan sangat diskrit. Respon instrumen hanya ada dua kemungkinan jawaban, ialah antara “ya” atau “tidak”. Jika “ya” maka diberi skor 1, sedangkan jika “tidak” diberi skor “0”. Sifatnya yang sangat diskrit cenderung mengabaikan sisi rentang kualitatif, kuantitatif dan kefungsian. Taruhlah contoh, sebuah sekolah memiliki bola kaki sebuah. Karena instrumennya berbunyi “Sekolah memiliki sarana olah raga” maka harus diberi skor 1. Pada hal sengguhnya bola kaki yang hanya sebuah tidak dapat menggambarkan kualitas dan kefungsiannya dalam pembelajaran Olahraga. Skor yang sama diberikan kepada sekolah yang sarana olah raganya lengkap dengan Hall dan pusat pelatihan atlet, misalnya. Di sinilah letak ketidakadilan itu.
Demikianlah, ketika sistem akreditasi sekolah memasuki fase ketiga, seluruh kekurangan yang terjadi dalam sistem akreditasi sekolah pada fase sebelumnya diperbaiki. Hal ini terkait dengan mulai tumbuhnya kesadaran, bahwa akreditasi bukan hanya sekadar kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan untuk akuntabilitas publik.
Mengacu SNP
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 memuat kriteria minimal komponen pendidikan. Inilah yang kemudian dirujuk sebagai Standar Nasional Pendidikan atau SNP. SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu SNP harus dijadikan standar mutu guna memetakan secara utuh profil kualitas sekolah/madrasah.
SNP memuat 8 (delapan) standar mutu. Berdasarkan hal itu, instrumen akreditasi sekolah disusun mengacu 8 standar tersebut. Meliputi (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik & Tenaga Pendidikan, (5) Standar Sarana & Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian.
Agar lebih valid, respon atas butir instrumen yang kategorik dan sangat diskrit ditinggalkan. Dikembangkan respon non-kategorik (noncategorical response), dalam hal ini adalah tipe peringkat dengan lima opsi jawaban. Penentuan lima opsi jawaban didasarkan atas pertimbangan menghargai perbedaan kinerja satuan atau program pendidikan.
Menggunakan instrumen dengan respon non-kategorik yang memiliki lima kemungkinan jawaban diperlukan pedoman sebagai panduan memberikan skor pada setiap opsi jawaban. Untuk itu dibuatlah petunjuk teknis yang merupakan penjelasan tentang pembuktian jawaban atas instrumen, baik berupa dokumen, bukti fisik atau fakta.
Salah satu prinsip yang tidak boleh diabaikan adalah validitas instrumen. Validitas instrumen dapat dirunut dari proses penyusunan butir-butirnya. Penjabaran 8 (delapan) SNP dijadikan kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi instrumen diurai ke dalam komponen, kemudian aspek, dan akhirnya sampai indikator. Dan sebagai acuan butirnya adalah aspek, artinya setiap aspek dijabarkan menjadi 1 butir.
Dengan intrumen yang validitas dan realibilitasnya terjaga, diharapkan instrumen baru ini memiliki karakteristik dapat mengukur (measurable), tidak menimbulkan banyak penafsiran (non multi-interpretation), merujuk pada aspek (standar) yang jelas (standard reffered), tidak mengintegrasikan banyak aspek (double aspec), dan masing-masing butirnya tidak meniadakan butir yang lain.
Disamping itu, satu hal perlu dicatat bahwa asesor sebagai ujung tombak pelaksanaan visitasi di sekolah perlu ditingkatkan kemampuannya. Setidaknya dalam memahami instrumen baru ini asesor harus belajar lebih banyak. Kompetensi asesor diarahkan untuk benar-benar profesional, mandiri, terpercaya, terbuka, dan handal.
Akhirnya, instrumen akreditasi sekolah yang baru ini semoga benar-benar menjadi perangkat alat ukur yang terpercaya untuk digunakan menilai kualitas sekolah/madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Penulis adalah Pamong Tamansiswa, Trainer Asesor Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta./h.nur
artikel :
Ki SUGENG SUBAGYA /H.NUR
Kantor Berita Indonesia GEMARI