Profesionalitas Guru di Era Global
Oleh: Irwan Prayitno
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa,
Pahlawan tanpa tanda jasa …
Potongan lagu ‘hymne guru’ di atas menunjukkan betapa berarti dan pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam menjalani hidupnya. Guru berada di garis depan dalam memberi penyejuk dan kemajuan suatu bangsa. Tanpa guru, sistem yang dibangun tidak akan berhasil.
“No Teacher, No Education”, demikian pernyataan Presiden Vietnam Ho Chi Minh. Sehingga moto tersebut dijadikan landasan pemerintahannya dalam membangun Vietnam yang berlandaskan pendidikan dengan guru sebagai intinya.
Sedangkan bagi seorang Fuad Hasan (alm), ”Jangan terlalu meributkan soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya (guru) itulah yang lebih penting diperhatikan.” Beliau berpendapat bahwa kualitas gurulah yang justru menjadi permasalahan pokok pendidikan di manapun.
Dan masih banyak pendapat yang mendukung tentang begitu pentingnya keberadaan guru dengan peran dan fungsinya dalam mencerdaskan anak bangsa di manapun.
Namun pertanyaannya hari ini adalah; adakah masih cukup bertahan anggapan demikian di tengah tuntutan zaman yang semakin berubah dan menginginkan pergerakan kemajuan yang lebih cepat dan dinamis ?
Fenomena guru hari ini
Di hari peringatan Guru Nasional saat ini, pertanyaan di atas sepatutnya menjadi renungan kita bersama. Karena hal tersebut dapat dibuktikan dengan jawaban yang diberikan anak-anak Indonesia ketika diajukan pertanyaan; Apa cita-citamu kelak jikalau sudah besar/dewasa nanti ?, maka rata-rata mereka menjawab, akan menjadi dokter, insinyur, arsitek, manajer, pengacara, diplomat, pilot, dll nya. Lalu dimanakah posisi guru dalam pikiran mereka ?. Kenapa mereka tidak berkeinginan menjadi guru ?, seperti guru-guru mereka yang memang setiap hari mereka gauli bahkan ‘diayomi’ oleh guru-guru mereka ?.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa fenomena kritik yang dilontarkan di tengah masyarakat terhadap keberadaan guru, yang terkesan ‘tidakberdaya’ menghadapi derasnya arus globalisasi termasuk ide-ide ideal yang disampaikan baik dari pemerintah, DPR, akademisi, maupun kalangan lainnya.
Fenomena tersebut, antara lain :
- Masih adanya guru yang lebih senang menggunakan suatu produk pembelajaran yang bersifat ’instan’ daripada berlatih mendesain sendiri, dimana hal tersebut sebagai bukti belum teraktualisasinya kompetensi guru.
- Masih adanya guru yang lebih senang dan bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan ’makhluk’ lain selain dirinya. Menjadi pewarta materi dengan peserta didik yang duduk senang tanpa ‘perlawanan’, juga menjadi kebanggaannya. Padahal keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan conditio sine qua non atau mutlak dilakukan.
- Masih adanya guru yang lebih senang menggunakan ’ancaman’ untuk mengingatkan peserta didik daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik menjadi guru sebelumnya. Padahal guru sudah mempelajari kaedah dan teori pemberian reward dan memahami bahwa memberikan reward bagi peserta didik merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dan menjadi bagian yang utuh dalam proses pembelajaran.
- Juga terlihat adanya guru yang masih asing bahkan sinis terhadap inovasi tapi suka menganggukkan kepala tanda setuju tanpa memikirkan secara mendalam makna anggukan kepala tersebut. Gurupun terlihat ’kebingungan’ ketika datang suatu perubahan tanpa mencerna terlebih dahulu makna perubahan tersebut.
- Masih adanya guru yang lebih senang menyimpan alat peraga secara rapi di lemari daripada memanfaatkan alat tersebut guna kepentingan proses pembelajaran. Padahal guru sudah belajar tentang teori perkembangan kognitifnya Piaget dan telah memahami sejak dari dulunya, bahwa pembelajaran dengan alat peraga lebih bermakna daripada pembelajaran tanpa alat peraga.
- Masih adanya guru yang tidak mau belajar membuat karya ilmiah dan lebih senang dengan pilihan golongan kepegawaiannya tetap di IVA, sehingga merasa ”bebas administrasi”.
- Ada juga guru yang senang menggunakan peserta didiknya sebagai objek ’les privat’ dengan memberikan perhatian khusus bagi peserta didik yang mengikuti les privatnya.
Kondisi-kondisi tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut, antara lain :
1. Kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya menaikkan tingkat profesionalitasnya, sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin dianggap tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan yang diperolehnya.
2. Penghasilan yang diperoleh guru masih belum mampu memenuhi hidup harian keluarga secara mencukupi, meskipun sudah ada upaya pemerintah untuk menaikkan penghasilan guru dengan program peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru (dimana pemerintah telah ‘menjanjikan’ akan menaikkan gaji guru dan dosen hingga 300 persen, dengan berbagai persyaratan harus memenuhi kompetensi dan sertifikasi).
3. Meledaknya jumlah lulusan guru dari tahun ke tahun.
Kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menegaskan bahwa yang dimaksud guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik di jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Disamping itu, di era global saat ini, dituntut adanya fungsi dari keberadaan guru sebagai tenaga profesional, yang mampu meningkatkan martabat serta mampu melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, dan kreatif.
Untuk itu sewajarnyalah profesionalitas guru, harus terkait dan dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan aktivitasnya sebagai guru, sehingga guru dapat menghadapi arus globalisasi dengan efektif dan tanpa ‘ketidakberdayaan’.
Adapun kompetensi-kompetensi penting dari seorang guru tersebut, adalah :
Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang ditampilkan guru. Dapat memiliki pribadi dan berpenampilan menarik, yang menyenangkan, pandai bergaul - tidak saja dengan sesama guru tapi juga dengan peserta didiknya - sehingga menjadi dambaan bagi setiap orang setidaknya yang berada di sekitarnya, dan adalah sosok guru yang menjadi panutan bagi peserta didik dan masyarakat.
Kompetensi profesional, adalah kompetensi yang langsung menyentuh bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian (evaluasi), pola bimbingan, konsultasi siswa, dll nya yang mesti dimiliki seorang guru secara efektif.
Kompetensi sosial, adalah kemampuan atau kompetensi yang terkait pada hubungan serta pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Pemberdayaan profesionalitas guru
Dengan menilik kondisi dan perkembangan dunia yang semakin menglobal sementara kedudukan guru yang tidak tergeserkan dalam fungsinya sebagai pencerdas bangsa dan memajukan dunia pendidikan, tentunya menjadi ‘kemestian’ kata kunci ‘profesional’ guru yang wajib selalu ditingkatkan disamping perlu juga dilakukan program-program lain yang mendukung.
Karena itu, guru jangan sampai hanya disibukkan dengan mengajar saja (meski memang sudah menjadi aktivitas rutin yang dilakoni guru), tapi juga harus mampu menampilkan profesionalitasnya dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Beberapa hal yang perlu dilakukan, adalah :
1. Dengan karya nyata dan sikap seorang gurulah yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta diakui keprofesionalannya oleh masyarakat.
2. Guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya guru harus melakukan pengayaan dan pembaruan di bidang ilmu, pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya secara terus menerus.
3. Mengefektifkan perubahan budaya mendengar dan mendongeng menjadi budaya membaca, menulis, dan diskusi. Karena dengan budaya membaca, menulis, dan diskusi akan tumbuh kehidupan ilmiah di tengah masyarakat khususnya kalangan guru.
4. Guru harus paham dan melakukan penelitian-penelitian guna mendukung efektifitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak dengan praktek pengajaran yang menurut asumsinya sudah efektif, namun kenyataannya justru bisa mematikan kreativitas peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian dapat memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Gurupun mesti mampu melakukan dialektika dengan realitas kehidupan (kontekstual) hari ini. Hal ini dianggap penting, karena tanpa adanya dialektika dengan realitas kehidupan akan kehilangan makna dan konteks pembelajaran yang disampaikan, sehingga proses pembelajaran nantinya seperti di ruang hampa, hanya ilusi atau sekedar fatamorgana. Berdialektika dengan realitas kehidupan maka fungsi pragmatis akan bersinergi dengan fungsi idealis, sehingga akan berguna dalam pemberian makna pembelajaran bagi masa kekinian maupun masa yang akan datang.
6. Bagi pemerintah, penting untuk mengkaji ulang kurikulum perkuliahan institusi penghasil guru, dengan menekankan pada kompetensi guru yang berkualitas dan mumpuni.
7. Pemerintah juga diharapkan dapat melaksanakan secara efektif program penempatan guru di wilayah-wilayah pelosok Indonesia yang masih banyak membutuhkan guru dengan memberikan pendapatan yang sesuai.
8. Pemerintah perlu bersungguh-sungguh merealisasikan anggaran pendidikan yang 20 % (dari APBN dan APBD) sebagai syarat upaya meningkatkan kualifikasi dan profesionalitas guru serta dunia pendidikan secara umum.
Padang Ekspres, 25 Nopember 2008
Pengembangan Kompetensi Guru